BERITA TERHANGAT DARI LINTAS BANGSA PAPUA BARAT ; ;

Kamis, Desember 11, 2008

“Hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya”

Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung. Karena Yohanes datang, ia tidak makan, dan tidak minum, dan mereka berkata: Ia kerasukan setan. Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan mereka berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya.” (Mat 11:16-19), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
· “Kalau tinggal di rumah terus dikomentari tidak bekerja, sebaliknya ketika banyak meninggalkan rumah alias sering bepergian dikomentari tidak kerasan tinggal di rumah, dst..”, begitulah sering kita dengar kritik atau komentar, mungkin merupakan perhatian atau asal komentar alias yang bersangkutan memang memiliki kebiasaan menilai, mengritik atau mengomentari orang lain. Mereka tidak mau bertanya atau memahami apa yang dilakukan orang lain, namun hanya melihat sekilas apa yang terjadi atau dilakukan. “Hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya”, demikian sabda Yesus. Maka marilah kita menilai atau menyikapi sesama atau saudara-saudari kita setelah dengan cermat melihat apa yang dibuatnya alias setelah mereka mengakhiri kegiatannya bukan sebelumnya. Sebaliknya kita sendiri masing-masing hendaknya lebih mengutamakan perbuatan atau perilaku daripada omongan atau wacana. Renungkan dan hayati pemahaman ini :” Sesungguhnya pengertian budi pekerti yang paling hakiki adalah perilaku. Sebagai perilaku, budi pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku” (Prof Dr. Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka-Jakarta 1997, hal 4). Bukanlah perilaku seseorang tidak mungkin dinilai dari/ melalui pengamatan sesaat atau sebentar saja? Maka hendaknya dalam menilai, memberi saran, menasihati atau mengritik orang lain, dengarkan dengan rendah hati dahulu pengalaman-pengalam an kerja atau usahanya: pujilah apa yang baik dan luruskan dengan rendah hati apa yang dinilai tidak baik. Evaluasi, refleksi atau mawas diri merupakan keutamaan yang harus menjadi kebiasaan penghayatan hidup dan cara bertindak kita, sebagaimana menjadi kebiasaan mengadakan ‘pemeriksaan batin’ setiap hari di akhir hari/kegiatan atau menjelang istirahat/tidur malam.

· "Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh. Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah- Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti, maka keturunanmu akan seperti pasir dan anak cucumu seperti kersik banyaknya; nama mereka tidak akan dilenyapkan atau ditiadakan dari hadapan-Ku.”(Yes 48:17-19). Marilah kita lihat, kenangkan, renungkan dan hayati perintah-perintah Tuhan kepada kita, sesuai dengan panggilan dan tugas pengutusan kita masing-masing. Semua perintah kiranya dapat dipadatkan menjadi perintah untuk ‘saling mengasihi’, maka baiklah kita mawas diri perihal perintah ‘saling mengasihi’. ”Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-7), demikian ajaran kasih dari Paulus. Dari ajaran kasih di atas ini kiranya yang mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan adalah ‘tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain’, mengingat dan memperhatikan begitu banyak orang menyimpan kesalahan sesamanya, yang berkembang menjadi marah atau bermusuhan. Marah berarti melecehkan atau merendahkan yang lain, melanggar hak azasi manusia/harkat martabat manusia. Pemarah hemat saya identik dengan orang sombong. Hendaknya jangan menyimpan kesalahan orang lain, tetapi simpan dan angkat kembali kebaikan-kebaikan yang lain. Marilah berpikir positif terhadap sesama dan saudara-saudari kita, yang berarti senantiasa melihat, mengakui dan mengimani kebaikan-kebaikan orang lain dan dengan demikian kita akan menikimati damai sejahtera lahir dan batin, jasmani dan rohani.

“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.”

1 komentar:

geopapuastudents mengatakan...

soudara...! benarkah ?

Template by : YOSEP GOBAI komunitas-paniai.blogspot.com