Menulis Tiada Henti
Oleh Yosep Gobai
DENGAN menulis kita belajar untuk peduli dengan lingkungan sekitar, juga lingkungan sosial. Dari peduli mencari tahu lebih dalam permasalahan, referensi. Menulis proses belajar yang tiada henti, aktualisasi diri dan sumbangan pemikiran, menulis menjadi ibadah.
Menulis tentu memerlukan bahan. Ibarat memasak, kalau tidak ada bahan pokok, apa yang akan dimasak. Bahan pokok dibubuhi bumbu. Jadilah masakan enak. Untuk itu mengenali, mencari referensi. Begitu semestinya. Tapi, sekadar ‘becanda’. Kalau menanak nasi, pertanda bermaksud membuat bubur . Kalau tidak pernah belajar makna, belajar bahasa, tidak bisa membedakan beras dan nasi.
Begitulah hakikat menulis. Kita tidak bisa mengabaikan lingkungan, juga lingkungan sosial lebih besar. Bilamana memperhatikan banjir, manakala bermaksud menulis tentang banjir, tidak boleh tidak kita mengamati, memperhatikan fenomena banjir dan hal terkaitnya. Tulis secara solutif, tulisan bermakna.
Misal, akibat membuang sampah sembarangan. Pada tulisan ada muatan kesadaran lingkungan. Bila ada yang tergugah dan mempraktikkan, jelas bermanfaat. Bagi yang beriman, mana tahu ditandai sebagai pahala. Bentuk kepedulian.
Pada proses demikian, kita bukan saja belajar tentang sekitar, baik fisik maupun non-fisik. Kita pun belajar menggunakan pemikiran, belajar menuangkan perasaan, dan belajar mensikronkannya. Kesemua itu bermuara pada tulisan, proses pembelajaran diri.
Kualitas tulisan, apabila rutin dilakukan, secara logika akan membaik. Latihan menulis dengan menulis adalah pembelajaran itu sendiri. Artinya, menulis menjadikan kita makhluk pembelajar sekaligus pemberi, berbagi. Menulis bukan untuk manusia egois.
Hebatnya, permasalahan semakin bercabang, femomena semakin susah dimengerti, ilmu dan teknologi berkembang, kita berpacu mengikutinya. Penulis hebat Abad Pertengahan, kalau hidup saat ini, menulis dengan persfketif Abad Pertengahan, ya tidak lucu.
Dulu orang menulis dengan tinta pakai moda bulu ayam, lalu memakai mesin tik. Kini, komputer lebih memudahkan. Kita tidak bisa mengandalkan program seri WS kuno atau symphoni, software itu tidak diproduksi lagi. Dari WS meloncat ke PageMaker. InDesngn pun boleh. Windows mengeluarkan aneka rupa. Pokoknya membacanya saja pusing, apalgai aplikasinya. Kita terus belajar —dan ini lebih penting— memilih sesuai kebutuahn. Banyak yang ditawarkan, pilih mana yang dibutuhkan.
Dengan kata lain, kita tidak sekadar memerlukan bahan pokok atau bumbu, tetapi juga hardware. Kesemua itu dipelajari demi meningkatkan kualitas; kreativitas sampai produktivitas. Apa boleh buat, begitulah kalau mau menjadi penulis. Penulis bukan untuk para pemalas, para pengeluh. Kalau malas belajar, mati saja.
Lagi pula, menulis itu menciptakan kebaruan. Setiap kalimat yang diketik adalah buah pikiran. Esensi boleh sama, tetapi sajian berbeda. Masalah bisa jadi sama, tetapi analisis tidak harus sama sebangun. Setiap kita menulis menciptakan hal baru.
Sebagai pencipta, gerakan tidak boleh berhenti. Berhenti berarti mati. Inovasi tiada henti, begitu sajian iklan. Menjaga kondisi demikian dengan belajar. Belajar paling mudah, membaca. Membaca itu menulis, menorehkan informasi di otak, di memori.
Jadi, Tomy benar adanya. Menulis adalah proses pembelajaran. Menulis bukan untuk gagah-gagahan. Proses pembelajaran, satu diantaranya, tertampak dari tulisan. Kalau boleh sedikit nakal, agar rapor belajar tersembunyi, tidak usahlah menulis he he
Kongres Rakyat Papua III Tetap Digelar
-
JAYAPURA –Ketua Panitia Pelaksana Kongres Papua III, Selpius Bobii,
didampingi beberapa tokoh adat dan tokoh pemuda Papua menyatakan kongres
Papua III teta...
12 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar