Menulis Tanpa Berguru
Oleh: yosep gobai
* Kalau berkehendak menjadi penulis, tidak perlu berguru pada kakak siapa pun. Guru menulis sesungguhnya adalah diri kita masing-masing. Tulis apa yang hendak ditulis, jadilah tulisan.
Suatu kali, atas permintaan ersad, yosep dan jhon temanku diminta menjadi team Majalah mellenium 2009 diyogyakarta Menulis Kreatif pada bahasa indonesia. Permintaan ersad, entah karena kami sama-sama penulis atau pemred media cetak atau karena temannya, tidak tahulah. Saya antusias, bukan hendak menggurui, tetapi memotivasi. Pertama, kami berdua diminta jadi team Majalah mellenium karena dianggap (ersad) kompeten dalam tulis-menulis (banyak bukti nyatanya, khan). Bagi saya ini penghargaan. Menjadi team Majalah mellenium, memang karena secara nyata dan terbukti mempunyai kemampuan menulis. Bukan karena alasan-alasan lain. kata jhon
Kedua, dari pengelanaan sebagai dosen berkesimpulan, mahasiswa —sebenarnya dosen juga, banyak yang sulit ‘mengeluarkan’ pikiran, kalau menulis payah. Balikannya, kalau berbicara, berdiskusi hebat. Terkadang saya memilih diam, tersebab tidak mampu mengimbangi.
Saking kedernya, akhir-akhir ini jarang ikutan diskusi. Kenapa? Masalah apa saja, mulai dari yang menyejarah, kekinian sampai futuris, dimamah habis. Bahkan, berbagai buku dari beragam pengarang dibahas tuntas. Saya tidak cukup punya kecerdasan untuk itu.
Lagi pula, sedang serius belajar menulis dengan langsung menulis. Lucunya, sampai pada kesimpulan, menulis itu mudah, sangat mudah malahan. Kenapa? Tinggal mengalihkan apa yang ada di pikiran ke komputer. Dan … ini intinya … ingin berbagi pengalaman, bahwa menulis itu sangat mudah. Ketika ditawari menjadi dosen tamu, sangat klop.
Ketiga, saya menemukan ‘rahasia’ kenapa menulis itu terkesan begitu sulit. Rupanya, selama ini (bisa jadi berlaku buat saya saja) terlalu dikungkung berbagai aturan hingga menjadi penghalang menulis. Harus ikut tata bahasa begini-begitu, kerangka karangan begana-begene, teori ini-itu, dan seabreg lainnya yang bukannya menyuburkan semangat menulis, malahan mematahkannya.
Secara pribadi ingin mendobrak metode tidak keru-keruan tersebut. Menulis harus dimulai dari menulis itu sendiri. Teori dan berbagai aturan kebahasaan dan logika bahasa, soal belakang, bisa menyusul.
Faktanya, banyak orang (katanya sih) menguasai teori, tetapi tulisannya jarang kita baca, bukunya tidak ada walau berkompeten menilai karya orang lain. Persetan dengan teori. Kalau sudah lancar, barulah berbagai teori dikenakan. Banyak sarjana, magister atau doktor kalah jauh dari mereka yang tidak bergelar. Penulis-penulis besar banyak yang bukan sarjana sekolahan. Mau bukti lebih merangsang?
Coba amati guru-guru atau dosen. Ada yang sudah belasan, bahkan puluhan tahun menjadi pengajar. Buku siapa yang dipakai? Logikanya, kalau memang terampil menulis, kan lebih afdol menyusun buku sendiri untuk dijadikan bahan ajar. Mayoritas pengajar hanya ‘menyampaikan’ pikiran dan hasil pikiran orang lain. Dari itu mendapat upah. Coba, apa tepat belajar menulis dari mereka?
Tidak Perlu Belajar
Anda ingin jadi penulis? Sangat mudah, gampang itu. Syaratnya satu saja, jangan sekali-kali mengandalkan orang lain, mencari guru. Menulis bukan ilmu yang mempunyai dasar filosofis, ruang lingkup, metode, apalagi body of knowledge. Menulis adalah keterampilan dan atau kebiasaan. Sesuatu yang tidak perlu dipelajari, cukup dilakukan, dilatih.
Coba kenang-kenang, ingat-ingat ketika sekolah di SD, SMP, SMA sampai PT, kita sudah belajar kosakata, paragraf, alinea, kalimat dengan varian dan tetek-bengek lainnya. Pokoknya lengkap. Lalu apanya lagi yang mau dipelajari? Yang benar, saatnya menulis. Kan begitu.
Ingat, menulis berhubungan dengan pikiran, pengetahuan dan keterampilan mengolah kata —memilih, memilah, menggabungkan— agar bermakna. Kalau pikiran pasti sudah punya. Begitu pula pengetahuan, tinggal ‘diambil’ dengan membaca, melihat, merasakan atau berkhayal. Semua orang punya kemampuan sedemikian.
Yang agak susah, keterampilan mengolah kata, dan itu tidak ada sekolahnya. Orang lain tidak mungkin dijadikan guru. Berpikir menggunakan otak dan diolah di otak. Hayo siapa yang bisa mengasah keterampilan otak kita kalau tidak kita sendiri.
Jadi, latih saja kerja otak dengan langsung menulis. Tulis, baca, perbaiki, tulis lagi. Begitu seterusnya. Kalau belum percaya diri, tulis lalu perlihatkan kepada penulis agar diberi saran ini-itu. Begitu mudahnya. Yang sedemikian tidak ada sekolahnya, tidak perlu ikut penataran atau seminar tentang menulis segala rupa. Itu pekerjaan sia-sia.
Bermacam bentuk kuliah atau penataran tidak banyak menolong, bahkan bisa jadi kesia-siaan. Yang pas, kalau ikut program semacam itu meraup motivasi atau latihan langsung. Itu kalau Sang Penatar punya keterampilan, ada contoh karyanya dan bagus. Nah, kalau ikut program sedemikian, minta pengajar memberi contoh. Dari contoh nyata Sampeyan kreatifi dan kreasii sendiri sesuai kemampuan, pasti tu bisa jadi penulis. Tapi, kalau ceramah dan ditimpakan segerobak teori, tidak usah. Menghabis-habiskan waktu saja.
Hanya 26 Huruf
Sehebat-hebatnya penulis mengolah kata dan kalimat hanya dari 26 huruf. Kombinasi 26 huruf itulah yang diutak-atik hingga menjadi buku, itu pun hanya beberapa huruf yang sering dipakai. Betapa mudahnya. Yang susah itu kan merangkai huruf menjadi kata, merangkai kata jadi kalimat, merangkai kalimat menjadi paragraf, merangkai paragraf menjadi tulisan, merangkai tulisan menjadi buku.
Kesemua itu dapat maujud manakala Sampeyan lakukan, dilatih. Pelajaran yang didapat dari guru di bangku sekolah, lebih dari cukup. Pengetahuan tingkat SD saja cukup asal dikembangkan secara pribadi. Rajin membaca hingga berbagai ‘ilmu’ nyangkut di otak. Nah, keseluruhan pengetahuan di otak itu, di olah di otak, jadilah tulisan.
Lakukan setiap hari. Mulai dengan membuat catatan kecil, menulis di diari. Rajin berkirim surat kepada teman atau siapa saja, merupakan latihan yang bagus. Aktif menulis di majalah dinding atau apa sajalah yang berkaitan dengan menulis. Kalau jadi kebiasaan, saya jamin keterampilan akan menjadi milik Sampeyan.
Yang ingin saya tandaskan, belajar menulis itu dengan menulis. Karena menulis lahir dari pikiran kita, ya kita yang melakukan. Jangan dululah berpikir menuliskan pikiran orang lain, cukup pikiran sendiri. Kalau sudah sekelas saya, bolehlah menuliskan pikiran orang, he … he …
Al-akhir, jangan pula gara-gara membaca tulisan ini, Sampeyan mempersetankan guru bahasa, misalnya. Itu menambah dosa saja. Maksud saya, dari guru-guru itu menimba pengetahuan bahasa dan prakteknya menjadi urusan sendiri. Di sekolah belajarlah teori tapi kalau menulis, lakukan sendiri.
Kalau resep tersebut dilakukan, Insya Allah, beberapa tahun ke depan Sampeyan menjadi penulis beken. Minimal, menulis untuk kepuasan sendiri. Dan, Sampeyan tidak akan terjerumus menjadi tukang omong, apalagi menjadi pencaci tulisan orang. Kalau bertemu model manusia seperti yang saya tulis terakhir, tinggalkan dia. Nanti kena pengaruh tidak baik.
Selamat menjadi penulis, profesi gampang, tetapi bukan gampangan, yang kalau Sampeyan cerdas merupakan jalan pembuka ke berbagai area kehidupan. Satu pesan saya, jangan menjadi penulis dengan kedengkian.
nb: tulisan diatas ini beberapa minggu lalu saya mengkritik dari beberapa teman teman setelah saya kopi paste beritanya okto pogau dan kesalahan saya
Kongres Rakyat Papua III Tetap Digelar
-
JAYAPURA –Ketua Panitia Pelaksana Kongres Papua III, Selpius Bobii,
didampingi beberapa tokoh adat dan tokoh pemuda Papua menyatakan kongres
Papua III teta...
12 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar