Melupakan Guru
Oleh: Yosep Gobai
KALAU ada pertanyaan siapa yang menjadikan seseorang terdidik? Pertama-tama adalah guru. Sekalipun, faktor paling inti yang menjadikan pintar, cerdas, kompeten, atau apa pun istilahnya, adalah diri kita sendiri. Kalau akarnya dikaji secara radiks akan bersua faktor keluarga, lingkungan, atau pemotivasi lainnya. Setidaknya, guru sangatlah lazim dan rasional sebagai jawabannya. Guru pejasa kehidupan.
Hampir mustahil seseorang tidak dididik melalui sentuhan guru. Sekolah dan berbagai lembaga pendidikan memang dirancang untuk membantu mengembangkan potensi melalui sentuhan guru. Dari ‘tangan’ gurulah tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik cendekia, pejabat pemerintah, pengusaha, para profesional menjadi orang dan mendaki sukses.
Kalau pertanyaan ditajamkan, apakah perhatian terhadap guru sudah sepadan dengan apa yang didapat dari guru? Mungkin akan banyak analisis mengemuka. Tapi, satu hal, hampir dapat dipastikan, kontribusi guru dalam perjalanan kehidupan seseorang pastilah ada kalaulah terlalu bersemangat dikatakan guru sangat berpengaruh atas keberhasilan seseorang.
Derita Bathin Guru
Kalau seorang dosen, pengusaha, pejabat pemerintah, apalagi birokrat pendidikan, atau apa saja, melakukan kilas balik dalam kaitan dengan guru, pastilah akan menjalani wisata kehidupan menarik. Pada tataran tertentu, bisa jadi, nostalgia berbuah kerinduan ke masa lalu. Mulai dari bagaimana sabarnya guru mendidik sampai melakukan kenakalan-kenakalan konyol. Bisa pula bersua guru-guru yang tidak ‘memuaskan’, guru-guru berpikiran kuno. Semua bisa berpadu dalam memori.
Tetapi, Saudara-saudara. Satu hal yang jarang kita renungkan, betapa guru hidup akrab dengan deritanya. Tidak saja mendidik agar kita cerdas, berwatak, dan ‘menjadi manusia’, tetapi sekaligus menghadapi hidup yang tidak kalah perihnya. Kehidupan ekonominya yang Senin-Kamis namun tampil charming di kelas. Guru pandai menutupi, menyembunyikan derita, namum memberi kelebihan, mengajar dan mendidik.
Dulu, saya pernah mendengar, tega-teganya birokrat pendidikan ‘meminta’ sejumlah uang manakala guru mengusulkan naik pangkat. Bayangkan, orang yang gajinya memprihatinkan, para birokrat yang seharusnya ‘melayani’ hal-hal administratif berkenaan karirnya, tega-teganya dimintai ‘partisipasi’. Tidak mudah seorang guru berjuang naik pangkat. Bahkan, tidak sedikit yang mentok manakala mendaki ke golongan IV. Banyak pengendala.
Juga, sangat sering berita tentang pemotongan gaji guru —yang sedikit itu— untuk berbagai keperluan dengan berbagai alasan. Setidaknya itu dulu. Belum lagi manakala urusan semacam kampanye sangat mudah ‘mengerahkan’ guru. Kata seorang teman, sediakan truk pengangkut dan nasi bungkus, urusan beres. Begitu mudahnya memobilisir guru.
Nampaknya, bagaimanapun guru memperlihatkan loyalitasnya, kehidupannya terus bergulir sebagaimana iramanya. Murid-muridnya mungkin menjadi kongomerat, menteri, atau pembobol bank, guru tetap saja berkutat hari-hari menggores papan tulis.
Sudah begitu, ada pula pejabat yang memaksa guru curang —terlepas guru mau atau memang beprilaku curang juga, he … he … Misalnya, diberitakan seorang Kepala Daerah melalui Kepala Dinas Pendidikan agar ‘mencurangi’ pelaksanaan ujian nasional (UN). Berjamaah mengotori UN agar siswa-siswa lulus 100%. Terkutuklah.
Ada ibarat menyedihkan. Kalau hasil kerja guru bagus, misalnya peserta didik cerdas-cerdas yang dapat nama sekolah, ayam bertelur sapi dapat nama. Bukankah telur yang dimasak setengah matang populer dengan telur mata sapi?
Tapi baiklah. Kalau sekolah diperhatikan, guru ‘ditinggalkan’ sebenarnya tidak mengapa. Guru dan sekolah adalah kesatuan dalam peran dan tugas memintarkan peserta didik. Sekolah bagus berkorelasi positif dengan bagusnya guru (kehidupannya?).
Guru Derita Mengalir
Saya punya contoh memprihatinkan. Suatu kali melakukan penelitian kecil-kecilan. Alamaaaak, bagaimana guru akan bergairah bertugas. Gajinya berkisar antara Rp1,5 juta-Rp2,5 juta. Banyak? Tunggu dulu. Saya pernah dibawa seorang pengusaha ke karaoke dan dia membayar untuk fasilitas bernyanyi enam jam tersebut Rp2,1 juta.
Gaji guru tidak bisa dibawa pulang utuh. Apa pasal? Ternyata harus dipotong untuk cicilan rumah, kendaraan, pinjaman koperasi untuk biaya kuliah anak, dan deretan macam-macam lainnya. Alhasil untuk hidup dan berkehidupan sebulan tersisa gaji Rp250 ribu. Rp250 ribu? Begitulah. Artinya, kalau tidak mau wafat, harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apa itu?
Dalam tulisan ini tidak dikemukakan, begitu juga guru kaya raya. Bayangkan. Disatu sisi mencurahkan potensi mendidik, disisi lain berjuang agar dapur tetap berasap. Dua-duanya harus dijalankan, dan memang telah dilakukan. Coba renungkan! Wajarkah?
Memang, siapa suruh jadi guru. Namun, apakah pemerintah menyediakan rumah dan transportasi? Bagaimana mungkin guru membeli buku, surat kabar, majalah, jurnal, bersilancar di internet, memperkaya ilmu mandiri.
Sebenarnya, jika fasilitas sekolah memadai tugas mencerdaskan bangsa akan tertolong. Hanya saja, datangilah sekolah-sekolah kita. Dibanding ruang tunggu pejabat saja kalah. Fasilitas pendidikan jauh dari ideal. Kalau dipikir-pikir, tabek harus diberikan pada guru. Bukankah guru ditenggarai sebagai ‘koruptor’ kecil-kecilan? Misal menyelewengkan dana BOS, iuran ini-itu. Untuk yang satu ini saya tidak berpendapat.
Ketika menjadi Ketua Komite di satu sekolah pernah terdiam. Orang tua murid gelisah campur marah guru menjual buku seharga Rp25 ribu. Mahal. Guru korup, menyalahkan wewenang. Masya Allah. Alhasil disepakati buku pelajaran dicari masing-masing. Apa yang terjadi?
Mengaduk-aduk satu kota tidak dapat. Ongkos mencari buku lebih mahal dari harga buku. Terlepas ada unsur bisnisnya, kenapa begitu ‘keras’ terhadap guru anak sendiri? Penasaran saya telusuri.
Seorang guru, isteri seorang pejabat BUMN, bicara dari hati ke hati. Untuk satu kelas dijual 30 buku aRp.25 ribu. Dapat diskon 10% alias kalau semua bayar 10%X30XRp25.000,00 dapat untung Rp750 ribu. Biasanya ada empat sampai lima siswa tidak mampu membayar. Setoran ke distributor harus penuh dan … mana untungnya. Bahwa ada juga cerita guru dan kepala sekolah korup, nanti ditulis khusus.
Hargai Guru
Kembali ke esensi tulisan ini, janganlah pernah melupakan guru. Kalu Sampeyan sudah ‘menjadi orang’ datangilah guru SD, SMP, SMA, atau PT. Minimal bersilaturrahmi. Guru akan senang, gembira anak didiknya sukses. Kalau tidak muridnya yang menghormati dan memberi kebanggaan siapa lagi.
Akhirnya, apa pun jadinya, guru telah ‘mewarnai’ etape kehidupan kita. Menghargai guru adalah cara terbaik berterima kasih.
Kongres Rakyat Papua III Tetap Digelar
-
JAYAPURA –Ketua Panitia Pelaksana Kongres Papua III, Selpius Bobii,
didampingi beberapa tokoh adat dan tokoh pemuda Papua menyatakan kongres
Papua III teta...
12 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar